Archive
PERAN HUMAS SEBAGAI AKTOR PEMBERANTASAN KORUPSI
Tulisan ini bisa dibaca juga di: https://m.timesindonesia.co.id/read/165948/20180118/145319/peran-humas-sebagai-aktor-pemberantasan-korupsi-di-ptn/
Peran Humas sebagai Aktor Pemberantasan Korupsi di Perguruan Tinggi Negeri
Rachmat Kriyantono, PhD
Ketua Program Studi S2 Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya
Baru-baru ini, seperti diberitakan Times Indonesia, ada dua event penghargaan bagi Humas pemerintah. Kementerian Komunikasi & Informatika menyelenggarakan Anugerah Media Humas dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menyelenggarakan Anugerah Humas PTN dan Kopertis. Pemerintah tampak membuka mata terhadap pentingnya kehumasan sebagai ujung tombak mengomunikasikan kebijakan, program, dan kegiatan pemerintah, seperti diatur Permenpan-RB no 30/2011.
Tulisan ini mengaitkan peran Humas dengan program nasional yang saat ini masif digerakkan, yakni program nasional anti-korupsi (Inpres no 7/2015 tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi). Mengacu pada Permenpan-RB di atas, mestinya Humas pemerintah perlu menaruh perhatian menyosialisasikan program nasional anti-korupsi di lembaga pemerintah.
Korupsi Perguruan Tinggi
Korupsi termasuk permasalahan besar Bangsa Indonesia. Dari Harvard Business Review per Oktober 2017, indeks persepsi korupsi Indonesia berada di angka 37 dari rentang 0-100. Semakin mendekati angka 100, tingkat terjadinya korupsi makin sedikit. Indonesia berada di peringkat 3 di ASEAN, di bawah Singapuran dan Malaysia. Di awal reformasi, Indonesia berada di peringkat paling bawah se-ASEAN dengan berada di angka 17 pada 1999. Di dunia, setelah reformasi, angka ini cenderung naik. Pada 2014, berada pada angka 34, pada 2015 berada pada angka 36. Tetapi, Indonesia masih berada pada peringkat 90 dari 176.
Korupsi berdampak pada penurunan kualitas semua aspek kehidupan sosial, degradasi nilai-nilai, moral, spiritual, dan integritas; mendistorsi sistem peradilan; perdagangan, investasi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Yang membuat lebih memprihatinkan, korupsi sudah menyerang dunia pendidikan tinggi sehingga dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia dan level pengetahuan.
Menristekdikti, pada tahun 2017, mengungkapkan hampir setiap perguruan tinggi negeri (PTN) mempunyai bangunan mangkrak, kerugian negara mencapai Rp 9 triliun, melebihi kasus Century. Pernah selama 2003-2013, ICW menemukan korupsi di perguruan tinggi berada pada peringkat kedua untuk semua sektor pendidikan. Kerugiannya pun lebih besar, Rp 10 trilyun.
ICW menemukan 37 kasus korupsi di perguruan tinggi yang sedang diproses penegak hukum selama 2016, kerugian negara Rp 218.804 milyar. Melibatkan sedikitnya 65 pelaku, 32 di antaranya dari sivitas akademik (Rektor/wakil rektor 13 orang, 5 orang dosen, 3 orang dekan, sisanya adalah staf lainnya), sisanya dari pemerintah daerah, dan swasta.
Demokrasi, Korupsi, dan Kehumasan Pemerintah
Membaiknya indeks korupsi Indonesia, membuktikan teori makin demokrasi suatu negara, makin berkurang korupsi. Demokrasi yang terkonsolidasi (tersistem dan terlembaga) dengan baik, menurut Treisman (2000) dan Montinola & Jackman (2002), dapat mengurangi laju korupsi.
Seperti kita rasakan sekarang ini, demokratisasi menawarkan keterbukaan dan partisipasi publik. Keterbukaan dan partisipasi sangat terkait dengan arus informasi yang meningkat antara pemerintah dan masyarakat. Pada akhirnya, demokrasi menstimuli aktivitas komunikasi dengan publik karena publik makin kritis. Kekritisan publik ini, yang penulis rasakan, bisa mempengaruhi terjadi tidaknya korupsi. Jadi, meningkatnya aktivitas komunikasi ini merupakan implikasi dari sifat demokrasi yang mensyaratkan jalinan relasi antara individu dan pemerintah.
Karena itu berdasarkan pendekatan komunikasi, yakni ketika demokrasi dimaknai sebagai proses relasi komunikasi pemerintah dan publik serta situasi makin terbukanya akses informasi, maka dapat dikatakan demokrasi Indonesia mulai menuju kualitas yang baik. Banyak bermunculan peraturan yang memungkinkan proses relasi dan akses informasi tersebut makin terbuka, seperti UU kebebasan pers dan UU keterbukaan informasi publik.
Pada titik inilah, Humas di lembaga pemerintah sebagai fungsi manajemen komunikasi berada pada posisi strategis. Kualitas praktik Humas pemerintah mestinya bisa semakin meningkat karena sebagai bagian berkembangnya demokratisasi.
Public relations dan program anti-korupsi
Fungsi Humas pemerintah yang dirumuskan dalam berbagai aturan sebenarnya mengadopsi teori-teori kehumasan di dunia pendidikan. Secara teori, fungsi Humas dibagi menjadi dua, manajerial (manajemen isu dan merancang program terkait isu; fasilitator komunikasi antara lembaga dengan publik internal dan eksternal; fasilitator pemecahan masalah yang dihadapi lembaga); dan teknisi komunikasi. Fungsi itu tampak senada fungsi Humas pemerintah di permenpan-RB no 30/2011, yakni penyedia informasi kebijakan, program, dan kegiatan lembaga agar terjaga reputasi lembaga; Menciptakan iklim hubungan internal dan eksternal yang kondusif dan dinamis; Menjadi penghubung lembaga dengan publiknya; Melaksanakan fungsi manajemen komunikasi, yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pemberian masukan dalam pengelolaan informasi. Peraturan di kementerian lain juga sewarna dengan rumusan permenpan-RB.
Humas perlu menjaga moralitas perilaku lembaga melalui aktivitas komunikasinya agar fungsi-fungsi itu bisa berjalan baik. Menjaga moralitas lembaga bisa dilakukan Humas dengan membangun sistem komunikasi yang menjamin terlaksananya prinsip pelayanan publik (UU no 25/2009), yakni pelayanan publik harus profesionalitas penyelenggara, partisipatif, keterbukaan, dan akuntabilitas proses pelayanan.
Prinsip pelayanan publik tersebut indikator moralitas lembaga. Dalam konteks komunikasi, pelayanan publik yang melenceng dari prinsip itu bisa memunculkan ketersumbatan informasi, yang akhirnya menjadi peluang korupsi. Masih banyaknya korupsi di perguruan tinggi maka Humas perguruan tinggi sebagai bagian kehumasan pemerintah mesti mendorong diri untuk menyukseskan program nasional anti-korupsi.
Tetapi, dari riset penulis bersama kolega dosen, ditemukan hanya 37% dari 50 responden Humas yang mengaku sudah pernah mempunyai program yang terkait dengan program anti-korupsi. Itu pun, 71% dari program-program tersebut lebih difokuskan pada publik eksternal.
Penguatan Humas Perguruan Tinggi
Perlu langkah konkret penguatan kehumasan. Humas perguruan tinggi masih jauh dari fungsi idealnya sebagai manajer komunikasi. Penulis melihat terjadi inkonsistensi antara peraturan kehumasan yang sudah mengadopsi fungsi ideal-manajerial kehumasan dengan kondisi empiris di lapangan, yang masih menempatkan humas sebagai fungsi teknis. Kategori yang dinilai Anugerah Humas PTN pun masih menonjolkan fungsi teknisi komunikasi, seperti website, publisitas, dan media sosial.
Dari riset penulis bersama kolega di tim kehumasan dikti, ditemukan bahwa kehumasan PTN mempunyai kendala, yakni (i) Kurangnya kualitas SDM yang menguasai teori dan praktik kehumasan, termasuk kapabilitas komunikasi; (ii) Belum berada pada struktur yang memungkinkan fungsi manajerial, seperti koordinasi tata kelola komunikasi secara menyeluruh sehingga mereduksi wewenang kehumasan. Memang ada Humas yang memiliki akses langsung dengan pengambil kebijakan meski tidak berada pada struktur yang tinggi, tetapi, akses tersebut diperoleh lebih pada kualitas relasi personal dengan pimpinan, yang tentunya bersifat sementara; (iii) Humas dipersepsikan hanya untuk publikasi, relasi dengan media, menyebarkan informasi, beriklan, dan protokoler. Humas pun banyak sebagai journalist in resident; (iv) Humas lebih fokus untuk publik eksternal. Padahal, menurut teori dan peraturan, humas juga ditujukan untuk publik internal; (v) Akibat keempat kendala itu, anggaran kehumasan pun masih terbatas.
Penguatan kehumasan bisa dilakukan dengan menghilangkan keempat kendala itu, yang akan fungsi kehumasan dapat berjalan sesuai bentuk idealnya.
PENCITRAAN & REPUTASI
MENGENAL PENCITRAAN & REPUTASI (Apakah pencitraan negatif?)
Oleh: Rachmat Kriyantono, PhD
Pencitraan adalah “communicating ourselves to someone else” atau “say something about us to others”. Bisa disebut mem-PR-kan diri kita kepada orang lain. Pencitraan dilakukan berdasarkan prinsip “without communicating ourselves, nobody knows us”. Tanpa pencitraan, orang lain tidak tahu, bahkan tidak menyadari eksistensi kita dan prestasi kita. Pencitraan yang efektif adalah jika pencitraan yang kita lakukan itu dimuat media massa, karena bisa tersebar secara simultan, serentak, dan repetisi berulang (dalam bentuk pemberitaan). Ini yang disebut publisitas, yakni pencitraan yang dimuat media tanpa perlu membayar space atau durasi media atas dimuatnya. Pencitraan bisa dilakukan melalui iklan (tapi, iklan harus membayar space atau durasi waktu agar bisa dimuat media).
Publisitas lebih dipercaya orang ketimbang iklan karena sebagai produk “telling something through someone else” atau “let someone else tell your story”. Media adalah someone else itu.
Jadi, “pencitraan” adalah hal keniscayaan yg mesti dilakukan, baik oleh individu atau organisasi, termasuk politisi. Pencitraan bersifat netral, bahkan positif. Pencitraan bukan sesuatu yang jelek.
Kita boleh menggunakan istilah “HANYA PENCITRAAN” hanya jika “pencitraan seseorang hanya sekadar pencitraan/jual diri, tanpa bukti nyata”. Bukti nyata inilah yg disebut “REPUTASI”, yakni “what we say corresponds with what we do”. Semua orang bisa pencitraan, tapi, belum tentu mampu mentransformasi pencitraan menjadi reputasi.
Selamat mencitrakan diri!
Salam,
CakRK
Tulisan tentang publisitas dan iklan, bisa dibaca di buku saya “Public Relations Writing, edisi 3, cet 4, 2016”, penulis: Rachmat Kriyantono, PhD, penerbit: Prenada Media
https://prasetya.ub.ac.id/berita/Para-Pakar-Berpendapat-Keharmonisan-Bisa-Tercipta-Lewat-Komunikasi-Multikultural-19762-id.html
Para Pakar Berpendapat Keharmonisan Bisa Tercipta Lewat Komunikasi Multikultural
Workshop Dengan Tema “Multicultural Communication In Workplace”
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UB menggelar workshop dengan tema “Multicultural Communication in Workplace” di Auditorium Nuswantara Gedung B FISIP UB. Seminar tersebut sekaligus sebagai tanggapan tentang fenomena komunikasi Masyarakat Indonesia akhir akhir ini.
Acara tersebut menghadirkan dua pembicara yang pertama Dewita Annysa Carson selaku tutor dari Curtin University sekaligus Dosen di South Metropolitan TAFE Perth Western Australia dan kedua yaitu Rachmat Kriyantono selaku Dosen dan Peneliti dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya. Dalam kesempatan tersebut, Rachmat menyampaikan bahwa Indonesia terdiri dari masyarakat yang sangat multikulturalis, hal tersebut juga tercermin dari Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebagai semboyan negara Indonesia. Saat ini multikultural merupakan fenomena yang paling sering dihadapi oleh masyarakat khususnya dalam dunia kerja. Dalam dunia kerja individu akan berhadapan dengan proses adaptasi dengan rekan kerja, atasan, dan bawahan dari berbagai budaya, ras, suku dan agama.
Rachmat menuturkan dalam dunia kerja komunikasi multikulturalisme sangat penting untuk diterapkan mengingat organisasi tidak hanya memperkerjakan individu di dalam suku yang sama ataupun agama yang sama, masing–masing dari pekerja akan menghadapi interaksi multikultural sehingga pekerja dituntut memiliki skill komunikasi multikulturalisme.
“Sudah menjadi kewajiban masyarakat Indonesia untuk menghargai masing masing budaya serta kepercayaan masing – masing suku maupun kelompok. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan keharmonisan di masyarakat. Untuk itu masing – masing kelompok atau suku tidak perlu saling memaksakan kehendak sesuai keinginannya, karena terdapat konsep menghargai tadi,” katanya.
Rachmat juga menambahkan tiga kunci untuk berhasil dalam berkomunikasi multikultural yang pertama “no SARA” atau diskriminasi terhadap masing masing suku atau kelompok, kedua menerima dan mengapresiasi keunikan dan perbedaan masing–masing suku atau kelompok, ketiga mengetahui dimensi antar personal masing masing suku atau kelompok.
Dewita selaku pembicara kedua merespons penjelasan Rachmat dengan memberikan tabel perbedaan karakter antara Indonesia dan Australia yang merupakan kampung halamannya. Dewita memberikan contoh seperti bagi orang indonesia “bicara blak – blakan” bukan menjadi kebiasaan, sedangkan untuk Australia, berbicara “blak blakan” yang pada dasarnya sinonimnya adalah bicara jelas dan gamblang merupakan hal yang biasa dan harus mereka lakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
“Menurut saya, kita tidak dapat membahagiakan setiap orang, maka dari itu jangan terlalu berharap untuk menyengangkan hati semua orang, adakalanya kita harus memberitahu hal-hal yang menurut kita orang tersebut berhak tahu, siapa tahu jika dengan memberitahu hal hal tersebut, orang dapat berubah menjadi lebih baik?,” kata Dewita.
Selain itu dalam dunia kerja, skill komunikasi multikulturalisme sangat dibutukan, karena skill tersebut akan menghubungkan masing masing dari ide dan energi tiap individu dari kelompok tim tersebut. Kerentanan skill multikulturalisme di dunia kerja dapat menyebabkan konflik komunikasi yang tidak efektif serta kesulitan untuk beradaptasi dalam dunia kerja. Hal–hal negatif tersebut dapat memicu kegagalan dalam tim kerja. (Anata /Humas FISIP/humas UB)
Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi Terhadap Efektivitas Komunikasi Interpersonal Dan Kepuasan Kerja (Studi Eksplanatif di Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah)
Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi Terhadap Efektivitas Komunikasi Interpersonal Dan Kepuasan Kerja (Studi Eksplanatif di Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah)
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim komunikasi organisasi terhadap efektivitas komunikasi interpersonal dan kepuasan kerja di Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah. Penelitian dilakukan di kantor Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah pada bulan September 2014 untuk pengambilan data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan melibatkan 33 responden yang dipilih sesuai populasi yang ada. Alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji analisis jalur (Path Analysis),dimana analisis jalur ini menguji apakah terdapat pengaruh langsung atau tidak langsung iklim komunikasi organisasi terhadap kepuasan kerja.
Hasil penelitian menunjukkan nilai iklim komunikasi organisasi memperoleh nilai gabungan 3,53. Nilai efektivitas komunikasi interpersonal memperoleh nilai gabungan 3,87. Nilai kepuasan kerja memperoleh nilai gabungan 3,96. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kepuasan kerja pegawai di Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga berada pada tingkat cukup baik. Iklim komunikasi secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap efektivitas komunikasi interpersonal dengan taraf signifikansi sebesar 0,026. Iklim komunikasi secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dengan taraf signifikansi sebesar 0,036. Efektivitas komunikasi interpersonal secara langsung memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dengan taraf signifikansi sebesar 0,001. Iklim komunikasi organisasi juga secara tidak langsung memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja dengan melalui efektivitas komunikasi interpersonal sebagai mediasinya dengan taraf signifikansi sebesar 0,171 atau 17,1%. Secara simultan terdapat Pengaruh iklim komunikasi organisasi dan efektivitas komunikasi interpersonal terhadap kepuasan kerja secara gabungan adalah 37,6% sedangkan 62,4% dipengaruhi oleh faktor lain.
Kata Kunci: iklim komunikasi organisasi, efektivitas komunikasi interpersonal, kepuasan kerja
Keywords
Pengaruh Self Esteem, Self Efficacy, dan Locus of Control Terhadap Motivasi Kerja dan Kinerja Public Relations (Studi Eksplanatif Pada Public Relations Santika Indonesia Hotel and Resort)
Silakan buka link ini: http://wacana.ub.ac.id/index.php/wacana/article/view/466
Pengaruh Self Esteem, Self Efficacy, dan Locus of Control Terhadap Motivasi Kerja dan Kinerja Public Relations (Studi Eksplanatif Pada Public Relations Santika Indonesia Hotel and Resort)
Abstract
HUMAS PEMERINTAH DI ERA DIGITAL
Saya memberikan materi tentang humas pemerintah di era digital, bersama Menteri Kominfo RI dan Juru Bicara Presiden pada 24 Mei 2017. Silakan baca di laman ini:
https://prasetya.ub.ac.id/berita/Dosen-UB-Menkominfo-dan-Jubir-Kepresidenan-Bahas-Humas-Digital-19844-id.html
atau:
Dosen-UB-Menkominfo-dan-Jubir-Kepresidenen-Bahas-Humas-Digital-19844-id
PUBLIC’S ATTRIBUTION VS PUNITIVE BEHAVIOR IN INDONESIA PUBLIC RELATIONS PRACTICE
This is my paper, published in Jurnal Ilmu Komunikasi Univ Atmajaya Yogyakarta. Silakan download PDF nya:
Public’s Attribution vs Punitive behavior-Rachmat-JIK Atmajaya
atau kunjungi linknya:
https://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik
Do the Different Terms A ffect the Roles? A Measu rement of Excellent and Managerial Role of Business and Governme nt Public Relations Practices in Indonesia
This is my research publication in IJABER (Scopus indexed). Describing the differences between public relations and Humas in conducting their roles. Please find the article in the link below:
http://www.serialsjournals.com/serialjournalmanager/pdf/1494930411.pdf
or this PDF: RACHMAT JURNAL IJABER-SCOPUS
Recent Comments